Hari Raya Galungan merupakan salah satu hari besar
Umat Hindu yang merupakan pawedalan Jagat atau Oton Gumi.
Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon
Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali
menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang
Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya.
Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur
atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan
segala-galanya di dunia ini.
Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan,
tahu akan hutang budi.
Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari
raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara
lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum
dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat
dalam batin.
Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka
mengajarkan bahwa sejakRedite
Pahing Dungulan kita didatangi olehKala-tiganing Galungan.
Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan,
Sang Bhuta Dungulandan Sang Bhuta Amangkurat.
Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan).
Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik,
tetapi kala keletehan danadharma. Berjuang, berperang
antara dharmauntuk mengalahkan adharma. Menilik
nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:
Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini,
boleh kita artikan bahwa pada hari Redite
Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita
baru sekedar diserang).Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
Ia mengunjungi kita pada hari Soma
Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulanberarti
menundukkan/ mengalahkan.Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
Hari Anggara
Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkuratsama
dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung),
dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan,
dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar
akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam
hubungan inilahSundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini
umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan.
Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta
(keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala
(mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada
hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari
Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan
kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkankeletehan dari
hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka
patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan
penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang
Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa
suci leluhur, sejak darisugi manek turun dan berada di
tengah-tengahpratisentana sampai dengan Kuningan.
Penjor terpancang
di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambangpengayat ke
Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjoritu
dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan,
karenapenjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan
hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain,
juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti:
Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia,
bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang
kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena
cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan
rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah
itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang
dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan
kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari
kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan
judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam
batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya
mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra,mapepawosan, olahraga dan
lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/
kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai
atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra.
Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke
semua tempat persembahyangan, misalnya: disanggah/ pemerajan, di
pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya.
Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana,
dyanadan yoga semadhi.
Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan
kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat
tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di
bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun
Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera)Dewa Hutan (Wana
Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk
di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang
raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangiandan pesucian.
Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean,
jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi
dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah
selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita
menghaturkan segehan tandingansebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelabakepada Sang
Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan
kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan
aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida
Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara
Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atauTumpek Kuningan), Ida
Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk
melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan
dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning
idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi
berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau
kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atauselanggi yang
berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan
(malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam
merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.
0 comments:
Post a Comment