L I D I B A L I

Selalu Berimajinasi ....

SELAMAT DATANG LIDI BALI, Selalu Berimajinasi .........

Sunday, November 4, 2018

Makna Suara Tetimpug saat Pawiwahan

Dalam rangkaian upacara Pawiwahan (Pernikahan) adat Hindu, ada tiga buah bambu yang dibakar hingga meletup yang disebut Tetimpugan. Sejatinya, apa makna dan fungsi Tetimpugan?

Pernikahan merupakan saat – saat yang paling dinanti. Fase Grahasta dalam ajaran Catur Asrama ini haruslah dilaksanakan sesuai tata cara yang benar. Itulah sebabnya, upacara Madengen-dengen atau Makala-kalaan yang memiliki makna dan tujuan ‘membersihkan dan menyucikan’ merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara pernikahan adat Bali. Dalam rangkaian upacara Pawiwahan terdapat tiga buah bambu yang dibakar dan meletup yang disebut Tetimpugan.

Tetimpug merupakan sarana yang juga dipergunakan dalam upacara Makala-kalaan.
Tetimpugan erat kaitannya dengan Bhatara Brahma yang disimbolkan sebagai api. “Sarana yang digunakan untuk memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma dalam upacara yadnya umumnya disimbolkan dengan bambu tiga batang yang dibakar dengan api danyuh kelapa.

Dikatakannya, Tetimpug umumnya berupa tiga buah bumbu mentah yang masih ada kedua ruasnya. Lalu diberi minyak kelapa kemudian diberi sasap yang terbuat dari janur. Biasanya bambu ini, akan dibakar sebelum memulai upacara, sehingga terdengar bunyi letusan tiga kali.

Membunyikan Tetimpugan justru merupakan saat yang ditunggu – tunggu. Konon, katanya jika Tetimpugan itu berbunyi lebih dari tiga kali, maka pasangan tersebut akan dikaruniai banyak anak. Jika kurang dari tiga kali letupan, konon mungkin ada kekurangan dalam bantennya.

Dalam upacara Bykala (wiwaha), sudah terkandung tiga macam saksi yang dikenal dengan istilah Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa ( Ida Hyang Widhi Wasa) yang dimohonkan untuk menyaksikan Pawiwahan tersebut. Manusa Saksi adalah semua orang yang datang menghadiri Pawiwahan tersebut dapat dikatakan sebagai saksi, utamanya Bendesa, Kelian Dinas, pemangku yang muput upacara tersebut dan lainnya. Saksi dari para Bhutakala disebut dengan Bhuta Saksi.

Tetimpugan dikatakan sebagai rangkaian dari Bhuta Saksi. “Kita membakar Tetimpug, sehingga menimbulkan suara letupan. Suara letupan tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhutakala agar hadir pada upacara tersebut. Kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara.
Di Bali dianggap belum sah, jika tidak disaksikan oleh Tri Upasaksi.

Dewa saksi biasanya dalam bentuk upakara dan bebantenan. “Dewa saksi, meliputi upakara dan upacara perkawinan kedua mempelai, yang dipuput oleh pedanda,” ujarnya. Sedangkan Manusia Saksi umumnya diwakilkan oleh bendesa adat serta prajuru desa. “Bhuta Saksi biasanya disimbolkan dengan upacara yang dibuatkan untuk kedua mempelai, sebagai wujud menetralisasi Sapta Timira.

Dalam Wiwaha Samskara disebutkan, Tetimpug berfungsi sebagai alat komunikasi, baik niskala maupun sakala. Secara niskala, Tetimpug berfungsi untuk memberitahukan Bhutakala yang akan mendapat persembahan, bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai. Secara sekala, Tetimpug juga mempunyai fungsi untuk memberitahukan kepada warga sekitar bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai.

Tetimpug tidak hanya digunakan dalam upacara pernikahan, tetapi juga digunakan dalam rangkaian upacara lain, seperti Padudusan, Pacaruan Rsi Gana, Labuh Gentuh, dan pacaruan lainnya. “Tetimpugan itu fungsinya sangat vital. Bahkan, dalam berbagai kegiatan upakara, Tetimpugan sering digunakan. Ngodalin, Macaru pasti ada Tetimpug,” ungkapnya.

Pemangku Pura Masceti ini mengungkapkan, baiknya menggunakan bambu dengan jumlah ganjil. “Seharusnya berjumlah ganjil, di mana ruas bambu yang berjumlah ganjil juga. Tiga buah bambu Tetimpug melambangkan Tri Kona, yaitu utpeti, stiti, dan pralina,” terangnya. Jika yang menggunakan lima buah Tetimpug, upacara caru tersebut sudah berada dalam tingkatan yang lebih besar, seperti karya agung. Hal tersebut melambangkan Panca Mahabhuta, yaitu pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa.

Penjelasan Tetimpug seringkali berbeda – beda, sesuai desa kala patranya. “Jika di daerah Ubud, Tetimpug dikatakan sebagai sarana untuk mengundang kekuatan sebagai pelaksana sebuah upacara yadnya.

Konon, tetimpug menjadi sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis. “Jika Tetimpug tidak bersuara, maka kala itu tidak datang. Begitu juga sebaliknya, jika bersuara, kala itu datang dan merasa terpanggil.

Pikiran Dapat Membelenggu dan Membebaskan

Dunia mengikat kita dengan segala pesonanya. Tanpa kita sadari semuanya membuat kita amat tergantung. Semakin kuat ketergantungan kita terhadap pesona duniawi membuat kita sulit melepaskan ikatan ini.

Jika kita renungkan ternyata semuanya berawal dari pikiran, hanya pikiranlah yg menyebabkan kita terikat pesona duniawi. Pikiran dapat membelenggu semua aktivitas kita. Jika kita menyerah terhadap belenggu pikiran akan keinginan duniawi, maka kita akan terpuruk. Memang tidak dipungkiri semasih hidup di dunia kita membutuhkan semua hal duniawi, namun bukan berarti terikat apa lagi tergantung. Contoh kita memang butuh makan tapi bukan berarti kita harus tergantung dgn makanan tertentu saja, tapi makan lah untuk melanjutkan hidup, bukan hidup untuk makan.

Direnungkan lagi memang pikiran lah penentunya apakah kita ingin terus terikat atau bebas dari ikatan. Jangan sampai pikiran yang membelenggu diri kita akan satu keinginan duniawi, karena semua itu tidak ada yang abadi. Sebagai jalan Dharma sebaiknya bebaskan diri dari ikatan dan mengalir sepenuhnya dengan karma. 

Saturday, October 27, 2018

Makna Melukat

MELUKAT merupakan bagian dari pelaksaan upacara Manusa Yadnya, yang memiliki tujuan untuk membersihkan dan menyucikan pribadi secara lahir dan batin. Yang dibersihkan ialah hal negatif dan malapetaka yang diperoleh dari dosa-dosa baik berasal dari sisa perbuatan terdahulu atau Sancita Karmaphala maupun dari perbuatan hidup saat ini.
Pengertian Melukat

Melukat berasal dari kata “lukat” dalam Bahasa Kawi-Bali berarti bersihin, ngicalang. Jika dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “lukat” berarti melepaskan (tentang barang yang dilekatkan). Kemudian mendapat awalan “me” menjadi melukat yang diartikan melakukan suatu pekerjaan untuk melepaskan sesuatu yang melekat dinilai kurang baik melalui upacara keagamaan secara lahir dan batin.
Makna Melukat

Melaksanakan upacara melukat merupakan salah satu usaha untuk membersihkan dan menyucikan diri pribadi agar dapat mendekatkan diri pada yang suci yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang tak lain merupakan tujuan akhir dari pada kehidupan manusia. Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah Maha Suci dan tentu merupakan sumber Kesucian. Maka sangat diperlukan adanya kesucian dalam pribadi kita untuk dapat mendekatkan diri dengan Beliau yang Maha Suci. Dan dengan melukat merupakan salah satu upayanya.
Dalam Pustaka Suci “Manawa Dharma Sastra” Bab V sloka 109, dinyatakan sebagai berikut :
“Adbhir gatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyti,cidyatapobhyam buddhir jnanena cuddhyatir.”
Artinya :

Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa, akal dibresihkan dengan kebijaksanaan.
Apabila makna dan arti sloka tuntunan ini dihayati secara mendalam, maka melukat menggunakan sarana air untuk pembersihan tubuh secara lahir (sekala), sedangkan untuk sarana penyucian menggunakan Tirtha Penglukatan, yang mana telah dimohonkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh pemimpin upacara melalui doa,puja dan mantram dengan diikuti oleh yang akan melukat.
Jenis Upacara Melukat
Jika ditinjau dari pelaksanaan dan tujuan upacaranya. Ada 7 macam upacara melukat, yaitu sebagai berikut :
Melukat Astupungku, untuk membersihkan dan menyucikan malapetaka seseorang yang diakibatkan oleh Pengaruh hari kelahiran dan Tri Guna (Satwam, Rajas, Tamas) yang tidak seimbang dalam dirinya.
Melukat Gni Ngelayang, untuk pengobatan terhadap seseorang yang sedang ditimpa penyakit.
Melukat Gomana, untuk penebusan Oton atau hari kelahiran yang diakibatkan oleh pengaruh yang bernilai buruk dari Wewaran dan Wuku. Misalnya pada mereka yang lahir pada wuku Wayang.
Melukat Surya Gomana, untuk melepaskan noda dan kotoran yang ada pada diri Bayi. Misalnya pada saat Nelu Bulanin.
Melukat Semarabeda, untuk menyucikan Sang Kama Jaya dan Sang Kama Ratihdari segala noda dan mala pada upacara Pawiwahan (Perkawinan).
Melukat Prabu, untuk memohonkan para pemimpin agar kelak dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan kejayaan dan kemakmuran.
Melukat Nawa Ratna, dapatkan dikatakan mempunyai makna yang sama dengan Melukat Prabu.
Selain melukat berdasarkan upacaranya, juga terdapat melukat untuk membersihkan diri secara sekala dan niskala melalui tempat suci seperti Tirtha Empul, Sebatu dll. Dan jika ingin melukat yang lebih sederhana dirumah bisa dengan melukat menggunakan Bungkak Nyuh Gading. Dewasa yang baik adalah pada Rahina Purnama.
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma

Monday, March 19, 2018

Tenganan Pegringsingan

Tenganan Pegringsingan merupakan sebuah desa di Kabupaten Karang Asem yang masih memegang teguh budaya yang diwariskan oleh leluhurnya. DesaTenganan merupakan salah satu dari tiga desa di Bali yang termasuk kategori Desa Bali Aga. Dua diantaranya adalah:
- Desa Trunyan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli
- Desa Sembiran di Kecamatan Tejakule, Kabupaten Buleleng.
Keunikan dari Bali Aga tersebut dapat dilihat dari arsitektur bangunan yang masih memegang teguh bentuk bangunan. Setiap keluarga baik mampu maupun kurang mampu akan memiliki bentuk bangunan yang sama. Dari penjabaran itu maka ada istilah Bali Aga. Bali Aga  merupakan masyarakat Bali yang masih berpedoman dan memegang teguh peraturan dan adat istiadat peninggalan leluhur, dari jaman sebelum kerajaan Majapahit.
Arsitektur rumah, balai pertemuan dan pura yang dibangun, sangat mempertahankan aturan adat istiadat secara turun – temurun. Ciri-ciri bangunan rumah penduduk, terbuat dari campuran batu merah, batu sungai, tanah dan mempunyai ukuran yang relatif sama.

Monday, March 12, 2018

Tirta Empul

Tirta Empul merupakan salah satu tempat suci bagi umat Hindu yang terkenal sebagai tempat penyucian diri dan sekarang dikembangkan pula sebagai obyek wisata budaya. Tirta Empul terletak di Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar Bali. Dari waktu ke waktu Pura ini banyak dikunjungi oleh wisatawan dan pula warga Bali yang ingin menyucikan diri, yang mana air di Pura Tirta Empul dipercaya dapat menyucikan diri manusia dari kekotoran duniawi. Kepercayaan ini sesuai dengan kisah cerita Maya Denawa pada jaman dahulu. Dimana diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang–wenang dan tidak mengijinkan rakyat untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Mayadenawa kalah dan melarikan diri hingga di sebelah Utara Desa Tampak siring. Dengan kesaktiannya ia menciptakan sebuah mata air beracun mengakibatkan laskar Bhatara Indra yang mengejarnya gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan "air keluar dari tanah" (Tirta Empul). Air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sedia kala. Maka dari itu air dipura ini dipercaya bisa membuat kehidupan.

Pura Tirta Empul dibangun pada 962 M selama Wangsa Warmadewa (dari abad ke-10 hingga ke-14), di tempat adanya mata air besar.

Di sisi kiri pura terdapat sebuah vila modern di atas bukit, dibangun untuk kunjungan Presiden Sukarno dalam tahun 1954, yang sekarang digunakan sebagai tetirah bagi tamu-tamu penting.